Kadang kala, sopir angkot tidak memperhatikan keadaan calon penumpangnya. Jika sudah demikian, bukan tidak mungkin orang yang hilang ingatan atau berpenyakit jiwa bisa naik dan duduk sebagai penumpang. Beruntung kalau sang penumpang yang sakit tersebut tidak terlalu agresif dalam perilakunya, seperti yang kebetulan bertemu dengan saya di dalam sebuah angkot, sekitar 15 tahun yang lalu.

Waktu itu saya bersama seorang teman sama-sama naik angkot menuju daerah Kiaracondong. Selain kami berdua, ada beberapa penumpang lain hingga di dalam hampir penuh. Saya dan teman saya duduk saling menghadap satu sama lain. Kira-kira setengah perjalanan, seorang ibu naik ke dalam angkot dan duduk di sebelah saya. Penampilannya tampak biasa, meski ahak lusuh. Kalau saya tidak salah ingat, umurnya sekitar 40 tahun, kurus, dan memakai baju panjang seperti daster.

Mula-mula ibu itu diam, namun sejurus kemudian dia berbicara; entah dengan siapa, dengan topik yang tidak jelas. Tampaknya ibu itu orang yang cukup berpendidikan, suka membaca koran, atau menonton berita. Kalimat-kalimat yang diucapkan bernuansa ‘kewarganegaraan’ dan ‘Pancasila’, dan dibawakan secara emosional seperti sedang berorasi. Dullu saya belum mengenal kata ‘orasi’, jadi saya menerjemahkannya dengan ‘deklamasi’. Termanggut-manggutlah saya menghadapi sang ibu, karena beliau tampak seperti sedang mengajak saya berbicara. Sungguh! Sebenarnya waktu itu saya ketakutan, tapi saya khawatir kalau saya menunjukkan rasa takut, maka sang ibu justru makin menjadi. Jadilah saya berpura-pura meladeni ocehan sang ibu. Di seberang teman saya cengar-cengir tapi dia pun tak bisa berbuat apa-apa. Penumpang lainnya pun tidak melakukan suatu daya upaya untuk menyelamatkan saya dari kondisi yang menggelikan itu. Ingin turun, tapi saya tidak mengenal daerah itu dan sangat tergantung pada teman saya. lewat mata saya ebrusaha mengirimkan sinyal minta pertolongan, “Masih jauh,ga? Ayo turun!! Tolong saya!!” Teman saya tidak bereaksi, saya beralih pada bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak penumpang lainnya, dengan sinyal S.O.S terpampang jelas dari raut muka saya. Sayang, mereka semua tidak menangkap kegelisahan saya (atau sebenarnya sadar tapi tak kuasa merespon??)

Sampai pada akhirnya teman saya mengajak turun. Ketika angkot pergi menjauh dan kami berdua berdiri di pinggir jalan, teman saya langsung tertawa dengan nikmatnya, “Ya ampun… Kamu tenang bangeeett..!!”

Yah, mau bagaimana lagi? Apa daya saya tidak sanggup mengalahkan orang sakit jiwa..